Serigala FlexiCOMBO Strikes Again Onno W. Purbo Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dibuat uring-uringan. FlexiCOMBO meluncur 1 Agustus 2006 memungkinkan pelanggan flexi mempunyai nomor di tiga (3) kode area dan berpindah secara manual dengan sebuah RUIM. Taktik “limited mobility” Serigala Berbulu Domba KOMPAS 2 juni 2003 menjadikannya Fixed Wireless yang membuahkan airtime rendah dan menekan pulsa menjadi pulsa PSTN. Secara end to end service FlexiCOMBO tidak berbeda dengan selular. Padahal operator selular karena kebijakan pemerintah & BHP harus menderita beban operasional 13 kali lebih besar daripada Flexi yang diakukan sebagai Fixed Wireless Access (FWA). Secara kasat mata memang tidak ada yang di langgar FlexiCOMBO, karena regulasi tidak membatasi pemetaan sebuah RIUM ke berapa nomor telepon. Memang ada beda antara Flexi dan Selular. Meskipun FlexiCOMBO dapat dibawa kekota lain, namun nomor-nya harus ganti terus, dan hanya berlaku 3 hari, harus lapor untuk perpanjangan. Mekanisme pengaktifan nomor sementara menjadi pertanyaan, terutama kaitannya dengan aturan prepaid registration nomor sementara tersebut. Fitur Divert call nomor awal harus membayar fitur call forwarding dengan tarif Rp 500 per menit yang berlaku tanpa batasan zona dan flat rate. Hal ini menimbulkan konflik karena biaya divert call normal ke nomor beda kota harusnya setara biaya SLJJ. Secara teknis FlexiCOMBO dengan Mobile roaming berbeda tipis. FlexiCOMBO manual sedang mobile roaming secara automatis. System melakukan call divert ke nomor Mobile Station Roaming Number (MSRN) yang sudah ditentukan. Akhirnya, secara end to end FlexiCOMBO tidak berbeda dengan selular. Semua ini menjadi tantangan berat regulator Telekomunikasi. Perkembangan teknologi Fixed wireles memiliki varian sangat beragam, dan masalah yang muncul dari sisi legalitas apakah dapat di jawab oleh regulator? Pertanyaan, dari sisi lisensi, sebetulnya Flexi adalah penyelenggara jaringan tetap, tapi teknologi dan layanan yang diberikan seperti seluler, bisa dinikmati di puluhan kota dan bahkan sampai 200 kota. Tidak ada bedanya dengan teknologi CDMA seluler seperti Mobile-8 dan Sampurna Telekom. Kuncinya ada di regulasi. Kita seolah-olah menutup mata bahwa teknologi yang digunakan oleh Telkom Flexi adalah seluler, sehingga selalu disebutkan sebagai operator Fixed atau Fixed Wireless Access. Padahal dalam PP 52/2000 dan KM 20/2001 tidak disebutkan sama sekali tentang FWA. Akhirnya masalah turunannya juga timbul, interkoneksi, BHP Frekuensi yang tidak setara, dll. Gejolak playing field terjadi karena regulasi yang tidak membuat playing field tersebut equal. Ada baiknya regulator berpikir untuk mulai mengarah pada Unified Licensing Regime seperti dilakukan oleh India dimana pada akhirnya dilakukan equal treatment antara operator FWA dan selular. Tentunya operator FWA harus membayar tambahan license fee untuk Unified Licensing Regime, tapi tidak berlaku bagi operator selular. Pada dasarnya tidak ada lagi perbedaan antara operator FWA, selular, jaringan tetap. Tentunya di barengi dengan penurunan biaya BHP frekuensi yang nantinya akan membuat penurunan tarif selular mendekati PSTN dan menumbuhkan pelanggan selular yang sangat pesat. Pada akhirnya FWA, selular dan fixed access akan hidup berdampingan untuk kepentingan bangsa ini. Tentu masalah tidak berhenti pada masalah Fixed vs. FWA vs. selular, BHP selular vs FWA, Manual vs. Automatic Roaming, CDMA vs. GSM, 3G vs. 4G, WiFi vs. WiMAX. Pada tingkat kompleksitas yang lebih abstrak, alokasi nomor telepon, Mobile Number Portability, Local Number Portability (LNP) yang memungkinkan sebuah nomor dimiliki seseorang untuk berpindah dari satu device ke device lain, satu operator ke operator lain akan menjadi isu yang besar terutama dengan berkembangan Internet Telepon maupun teknologi 4G. Singapore di tahun 1997 mendahului semua negara di dunia mengimplementasikan LNP. Kunci teknologi LNP berada pada kemampuan pemetaan dinamik nomor telepon menggunakan teknologi ENUM yang menjadi dasar 4G dan Next Generation Network (NGN). ENUM Indonesia yang sudah operasional adalah voiprakyat.or.id dan enum.groups.or.id. Tantangan arus bawah semakin nyata dengan integrasi jaringan VoIP di 30 perguruan tinggi di jaringan INHERENT maupun 1200+ sekolah di DIKNAS dengan kapasitas pelanggan mendekati 10 juta VoIP user dalam 2-3 tahun kedepan. Bayangkan, seseorang dengan sebuah PDA yang mampu GSM, CDMA, 3G dan WiFi juga mungkin WiMAX (4G) cukup mempunyai satu buah nomor telepon saja untuk semua jaringan yang ada di PDA-nya. Pada saat ada GSM, maka nomor tersebut terkait ke jaringan GSM. Tapi di sebuah hotspot yang lebih murah pulsanya, nomor tersebut berpindah ke jaringan WiFi secara automatis. Nomor menjadi milik seseorang, tanpa peduli handset, tanpa peduli teknologi, tanpa perduli jenis jaringan, tanpa perduli operator, tanpa perduli kode area. Sebuah tantangan bagi regulator telekomunikasi Indonesia untuk mengabstraksikan masalah pada tatanan yang lebih tinggi. Selamat berjuang.